Selasa, 17 November 2015

Pengalaman Pribadi

Ia Telah Tiada

Aku masih ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu, saat nenekku meninggal. Itu pertama kalinya aku kehilangan orang yang aku sayangi. Tiga hari sebelumnya nenekku jatuh sakit, padahal dia baru saja berangkat ke sebuah tempat pengajian. Karena tidak enak badan akhirnya dia pulang ke rumah. Waktu itu aku membencinya karena aku yang repot. Nenekku hanya sakit, tapi mengapa aku yang disuruh – suruh. Kemarahanku semakin bertambah dengan datangnya anak –anak dan cucu – cucunya.  Rumah yang biasanya penuh dengan ketengan, sekarang menjadi ramai. Aku tidak bisa berkonsentrasi dalam belajar. Padahal aku sudah kelas  6 SD dan sebentar lagi ujian. Aku merasa keluargaku bersikap berlebihan, karena menurutku nenekku hanya sakit biasa. Tapi mereka menganggap hal ini adalah serius.
          Hari itu adalah hari Rabu, seperti biasa aku berangkat ke sekolah. Aku tidak peduli dengan keadaan di rumahku. Aku juga tidak punya perasaan was-was atau firasat apapun. Setelah pelajaran usai aku tidak langsung pulang, karena aku benci suasana di rumah. Aku benci keramaian. Aku benci mendengar banyaknya nasehat. Hari sudah sore mau tidak mau aku harus pulang. Entahlah  niat itu aku urungkan. Tak lama kemudian, temannku menjemputku dan berkata “ vi, kamu dicariin nenekmu tuh”. Aku tidak menanggapi dengan serius “ nenekku kan lagi sakit ngapain nyariin aku, toh di sana banyak orang. Mau merintah-merintah aku lagi” jawabku. “udahlah ayo pulang aku kesini mau jemput kamu” kata temanku. Akhirnya dengan bujuk rayunya aku mau pulang. Sesampainya di rumah tidak terjadi apa apa. Tapi aku disuruh masuk ke kamar nenekku, aku pun bingung. Di kamar nenekku sudah banyak orang dan aku melihat nenekku sedang memeluk baju ku dan mulutnya seperti ingin berkata sesuatu. Ruangan itu penuh dengan suara orang membaca Al qur’an. Aku semakin bingung. Meskipun begitu tapi aku tetap melakukan apa yang diperintahkan padaku. Aku duduk di samping nenekku berbaring. “nek ini Alvi udah pulang, alvi ada di sini nek, di sampan nenek” kataku. Mereka memintaku untuk menuntun nenekku mengucapkan kalimat syahadat. Semakin lama mulut nenekku tidak bergerak lagi, air matanya terus mengalir dan perlahan matanya mulai menutup. Tangis pun pecah. Semua yang ada disini menangis kecuali aku. Ada beberapa anak dan cucunya yang pingsan. Apa maksudnya, apa artinya ini? Dengan kebingungan aku bertanya pada diri sendiri. Ku lihat nenekku sekali lagi matanya masih menutup, aku keluar dari ruangan iru dan ibuku memelukku dengan derai tangis. Air mataku mulai menetes dan aku baru sadar, iya mereka menangis, mereka bersedih karena nenekku telah meninggal. Aku merasa orang paling bodoh dan aku menangis ttersedu sedu.

          Beberapa hari kemudian orang orang mulai pergi dari rumahku. Aku memang tidak suka keramaian, tapi saat rumahku sepi aku benar benar kesepian, aku merasa sendiri. Tidak ada nenekku yang sering menasehatiku, mengingatkanku sholat, menemaniku belajar. Tidak ada lagi yang menyuruhku dan memarahiku. Semua kenangan itu terbayang dikesendirianku. Orang tuaku mulai kembali bekerja dan semua mulai berjalan seperti biasa, tapi tidak denganku. Setiap pulang sekolah aku buka pintu taka da lagi yang menyapaku. Aku menangis setiap kali melihat foto nenekku. Aku memang menginginkan suasana yang sepi tapi bukan sepi seperti ini yang aku harapkan. Walaupun begitu aku tetap sabar dan aku pun berjanji bahwa aku akan selalu menyayanginya meski ia telah tiada.

0 komentar:

Posting Komentar