Ia
Telah Tiada
Aku masih
ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu, saat nenekku meninggal. Itu pertama
kalinya aku kehilangan orang yang aku sayangi. Tiga hari sebelumnya nenekku
jatuh sakit, padahal dia baru saja berangkat ke sebuah tempat pengajian. Karena
tidak enak badan akhirnya dia pulang ke rumah. Waktu itu aku membencinya karena
aku yang repot. Nenekku hanya sakit, tapi mengapa aku yang disuruh – suruh.
Kemarahanku semakin bertambah dengan datangnya anak –anak dan cucu –
cucunya. Rumah yang biasanya penuh
dengan ketengan, sekarang menjadi ramai. Aku tidak bisa berkonsentrasi dalam
belajar. Padahal aku sudah kelas 6 SD
dan sebentar lagi ujian. Aku merasa keluargaku bersikap berlebihan, karena
menurutku nenekku hanya sakit biasa. Tapi mereka menganggap hal ini adalah
serius.
Hari
itu adalah hari Rabu, seperti biasa aku berangkat ke sekolah. Aku tidak peduli
dengan keadaan di rumahku. Aku juga tidak punya perasaan was-was atau firasat
apapun. Setelah pelajaran usai aku tidak langsung pulang, karena aku benci
suasana di rumah. Aku benci keramaian. Aku benci mendengar banyaknya nasehat.
Hari sudah sore mau tidak mau aku harus pulang. Entahlah niat itu aku urungkan. Tak lama kemudian,
temannku menjemputku dan berkata “ vi, kamu dicariin nenekmu tuh”. Aku tidak
menanggapi dengan serius “ nenekku kan lagi sakit ngapain nyariin aku, toh di
sana banyak orang. Mau merintah-merintah aku lagi” jawabku. “udahlah ayo pulang
aku kesini mau jemput kamu” kata temanku. Akhirnya dengan bujuk rayunya aku mau
pulang. Sesampainya di rumah tidak terjadi apa apa. Tapi aku disuruh masuk ke
kamar nenekku, aku pun bingung. Di kamar nenekku sudah banyak orang dan aku
melihat nenekku sedang memeluk baju ku dan mulutnya seperti ingin berkata
sesuatu. Ruangan itu penuh dengan suara orang membaca Al qur’an. Aku semakin
bingung. Meskipun begitu tapi aku tetap melakukan apa yang diperintahkan
padaku. Aku duduk di samping nenekku berbaring. “nek ini Alvi udah pulang, alvi
ada di sini nek, di sampan nenek” kataku. Mereka memintaku untuk menuntun
nenekku mengucapkan kalimat syahadat. Semakin lama mulut nenekku tidak bergerak
lagi, air matanya terus mengalir dan perlahan matanya mulai menutup. Tangis pun
pecah. Semua yang ada disini menangis kecuali aku. Ada beberapa anak dan
cucunya yang pingsan. Apa maksudnya, apa artinya ini? Dengan kebingungan aku
bertanya pada diri sendiri. Ku lihat nenekku sekali lagi matanya masih menutup,
aku keluar dari ruangan iru dan ibuku memelukku dengan derai tangis. Air mataku
mulai menetes dan aku baru sadar, iya mereka menangis, mereka bersedih karena
nenekku telah meninggal. Aku merasa orang paling bodoh dan aku menangis
ttersedu sedu.
Beberapa
hari kemudian orang orang mulai pergi dari rumahku. Aku memang tidak suka
keramaian, tapi saat rumahku sepi aku benar benar kesepian, aku merasa sendiri.
Tidak ada nenekku yang sering menasehatiku, mengingatkanku sholat, menemaniku
belajar. Tidak ada lagi yang menyuruhku dan memarahiku. Semua kenangan itu
terbayang dikesendirianku. Orang tuaku mulai kembali bekerja dan semua mulai
berjalan seperti biasa, tapi tidak denganku. Setiap pulang sekolah aku buka
pintu taka da lagi yang menyapaku. Aku menangis setiap kali melihat foto nenekku.
Aku memang menginginkan suasana yang sepi tapi bukan sepi seperti ini yang aku
harapkan. Walaupun begitu aku tetap sabar dan aku pun berjanji bahwa aku akan
selalu menyayanginya meski ia telah tiada.
0 komentar:
Posting Komentar